5 Miskonsepsi Belajar dan Solusinya

Farihin Muhamad
0

Pada dasarnya belajar adalah sebuah kebutuhan pokok dan hal yang harus dilakukan oleh seorang manusia untuk dapat terus hidup dan Bila ada yang bertanya tentang pengertian dari belajar, pasti menghasilkan banyak variasi jawaban. Sebagian akan menjawab belajar sebagai perilaku membaca buku pelajaran, mengerjakan soal, berdiskusi atau bahkan ada juga yang menjawab belajar sebagai berangkat sekolah. Bila tidak di sekolah, maka anak tidak belajar. Jadi mari kita refleksikan kembali makna belajar dengan mengenali miskonsepsi tentang belajar.

1. Belajar Hanya Untuk Ujian

Bila tidak ada ujian, maka tidak belajar. Di sekolah dan kampus, ujian dibuat jadwal berkala yang mengukuhkan ujian sebagai ritual penting. Lahir kebiasaan SKS, sistem kebut semalam. Upaya habis-habisan menguasai pelajaran pada malam menjelang hari ujian. Ujian selesai, belajar pun usai. Pelajaran tak diingat lagi. Padahal dalam kehidupan, tidak ada jadwal ujian. Ujian kehidupan bisa datang sewaktu-waktu, tidak menunggu jadwal ujian tiba.

2. Kendali Belajar Ada Pada Guru

Karena kinerja pelaku dan manajemen pendidikan ditentukan oleh hasil ujian murid, maka proses belajar pun dikendalikan oleh guru. Guru yang mempunyai wewenang sepenuhnya dalam menentukan strategi, aktivitas dan asesmen belajarnya. Guru menjadi subyek, pelajar menjadi obyek. Belajar menjadi milik guru. Karena tidak dilibatkan, murid tidak mempunyai rasa memiliki terhadap proses belajar. Ketika sasaran belajar tidak tercapai, seringkali guru yang lebih cemas dibandingkan pelajarnya. Padahal belajar harusnya milik pelajar, sehingga sudah sepatutnya guru melibatkan pelajar dalam mengatur proses belajar.

3. Pelajar Mempunyai Kebutuhan dan Minat Yang Sama

Guru bukan mengajar murid, tapi mengajar materi pelajaran. Karena itu, guru tidak perlu mengenal apalagi memahami kebutuhan dan minat belajar pelajarnya. Guru menggunakan 1 resep untuk kelas mana pun, siapa pun pelajarnya. Resep yang disebut sebagai Pengajaran Langsung, proses belajar yang berpusat pada guru. Padahal kenyataannya, murid butuh mengalami diferensiasi pengalaman belajar sesuai minat, cara belajar dan ketersediaan sumber belajar di sekitarnya.

4. Orientasi belajar untuk ujian mendorong

Orientasi belajar untuk ujian mendorong guru mengajar dengan cara yang memastikan pelajar bisa  mengerjakan ujian dengan benar dan cepat. Cara belajar tersebut adalah menghafal dan menggunakan rumus. Selama lebih dari 12 tahun, pelajar belajar dengan cara tersebut. Tidak heran bila pelajar mempunyai keterampilan yang khas, terampil mengerjakan ujian. Padahal banyak tantangan kehidupan tidak seragam sebagaimana ujian standar. Pelajar butuh menalar sebelum memahami dan mengatasi tantangan kehidupan.

5. Penilaian Belajar Sepenuhnya Wewenang Guru

Karena tujuan dan cara belajar ditentukan oleh guru maka sewajarnya penilaian belajar ditentukan juga oleh guru. Guru yang tahu benar dan salah. Guru yang layak menentukan nilai dari jawaban murid. Seringkali kriteria dan cara penilaian hanya diketahui oleh guru. Pelajar diharapkan menerima begitu saja hasil penilaian, meski tidak paham maknanya. Pelajar tidak tahu perbedaan antara mendapat skor 8 dengan skor 9. Pelajar tidak mendapat informasi tentang apa konsep yang perlu diperkuat atau cara belajar yang harus diperbaiki. Padahal pelajar pun perlu belajar melakukan penilaian. Dalam kehidupan, pelajar dituntut bisa membedakan benar dan salah atau baik dan buruk.

Demikian postingan kali ini, semoga bermanfaat.

Tags:

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)