Materi pada perkuliahan Ke tiga belas ini diarahkan mahasiswa mampu menjelaskan dan mengaplikasikan pengertian dan pengaturan perlindungan konsumen, pencantuman klausula baku dan perjanjian, hak dan kewajiban konsumen, perbuatan yang dilarang pelaku usaha , penegakkan hukum konsumen.
DESKRIPSI SINGKAT MATERI 
a.           
Pengertian dan Pengaturan
Perlindungan Konsumen.
b.           
Pencantuman Klausula Baku
dan Perjanjian
c.           
Hak dan kewajiban konsumen
d.                 
Perbuatan Yang Dilarang Pelaku Usaha 
e.                 
Penegakkan
Hukum Konsumen
TUJUAN PEMBELAJARAN :
Secara umum, materi ini akan memberikan bekal kemampuan bagi Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengaplikasikan pengetahuan tentang Perlindungan Konsumen. Secara khusus, materi ini akan membekali Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengaplikasikan pengertian dan pengaturan perlindungan konsumen, pencantuman klausula baku dan perjanjian, hak dan kewajiban konsumen, perbuatan yang dilarang pelaku usaha , penegakkan hukum konsumen
PENYAJIAN :
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Istilah “konsumen” berasal dari bahasa Belanda “konsument,” bahasa Inggris “consumer“. Yang berarti “pemakai”. Dengan demikian konsumen adalah “pengguna akhir” (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sedangkan yang dimaksud dengan “produsen” atau pelaku usaha adalah
setiap perorangan atau badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai kegiatan ekonomi. 
Dari Pasal 3 “Directive”,  dapat 
disimpulkan  bahwa yang  dimaksud 
dengan  “produsen” adalah
:
a.     Pihak  pembuat suatu 
produk akhir atau  bagian  komponennya 
berupa  produk-produk manufaktur.
 b.   Produsen dari tiap bahan mentah apapun,atau
c.   Tiap 
orang, yang dengan  
membubuhkan    nama,   merek 
dagang ataupun ciri pembeda lainnya pada 
suatau produk adalah 
mewakili  dirinya sendiri sebagai  produsen barang atau  produk tersebut.
d. Setiap orang yang mengimpor suatu produk ke dalam lingkungan Economic Community, apakah untuk dijual,disewakan, dikontrakan, atau bentuk distribusi lain di dalam perdagangan bisnisnya sebagai produsen dan harus bertanggung jawab sebagai produsen.
Pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia
yang  memiliki  instrumen hukum integratif dan komprehenshif
terdapat dalam Undang-Undang  No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pemberlakuan UU ini  dimaksudkan 
menjadi landasan hukum  yang  kuat  
bagi pemerintah dan perlindungan 
konsumen  swadaya  masyarakat untuk   melakukan upaya pemberdayaan  konsumen 
melalui pembinaan dan pendidikan 
konsumen dan  melindungi
kepentingan konsumen serta mendorong iklim 
berusaha  yang sehat yang  mendorong 
lahirnya  perusahaan yang tangguh
dalam  menghadapi persaingan  yang  
berkualitas dengan   memberikan
perhatian khusus kepada  pelaku
usaha  kecil dfan menengah. Oleh
karena  itu UU Perlindungan  Konsumen tersebut memiliki asas  sebagai berikut:
1. Asas  manfaat dimaksudkan  untuk 
mengamanatkan  bahwa   segala  
upaya   dalam
oenyelengngaraan  perlindungan  konsumen harus  memberikan manfaat   sebesar- besarnya   bagi kepentingan    konsumen 
dan pelaku  usaha  secara 
keseluruhan,
2. Asas   keadilan  
dimaksudkan  agar partisipasi
seluruh  rakyat dapat  diwujudkan secara  maksimal 
dan memberikaan   kesempatan  pada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh  haknya  dan  
melaksanakan   kewajiban
secara  adil.
3.   Asas keseimbangan.dimaksudkan  untuk memberikan keseimbangan  antara  
kepentingsn   konsumen,
pelaku  usaha, dan pemerintah dalam arti  materiil 
ataupun spritual.
4. Asas keamanan dan
keselamatan konsumen  dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan. Dan keselamatan kepada  konsumen 
jasa  dalam penggunaan,
pemakain  dan  pemanfaatan  
barang   dan /atau jasa   yang dikonsumsi atau  digunakan.
5. Asas kepastian hukum
dimaksudkan  agar  baiak 
pelaku  usaha   maupoun konsumen  menaati 
hukum dan   memperoleh  keadilan 
dalam penyelenggaraan  
perlindungan konsumen serta negara  
menjamin   kepastian hukum 
1.      
Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
2.      
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan atau jasa.
3.      
Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai
konsumen.
4.      
Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5.      
Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6.      
Meningkatkan
kualitas barang dan jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan
atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
B. PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN
                             Saat   ini, hampir  disetiap 
perjanjian, seorang  monsumen   dihadapkan  
pada  kenyataan  hadirnya 
“standard  contracts”,  yaitu  
suatu   perjanjian   yang telah 
dibuat  secara  sepihak  
sebelum ditandatangani 
perjanjian. Biasanya  hal tersebut
dilakukan   oleh  pihak penjual 
atau  pemberi jasa.  Syarat-syarat    tersebut 
berlaku   bagi siapapun yang   mengikatkan 
diri  dalam perjanjian   atas 
dasar  prinsip  “take
it  or 
leave it”,  tanpa   suatu perundingan   sebelumnya. 
                Dengan   demikian, isi  atau 
klausula  perjanjian  telah 
dibakukan atau  dituangkan   terlebih 
dahulu secara   sepihak  oleh pengusaha  yang 
dituangkan dalam bentuk  formulir
( blanko ). Konsumen  tinggal  membubuhkan  
tandatangan  saja, apabila  bersedia  
menerima   aturan   atau 
ketentuan dan   syarat-syarat   yang  
telah  dipersiapkan   dan ditetapkan  terlebih 
dahulu  secara  sephak oleh 
pengusaha, tidak  memberikan kesempatan  kepada konsumen untuk untuk  membicarakan 
lebih  lanjut  klasula    yang 
dimajukan pihak  pengusaha.  Klausula baku 
tersebut   mengikat  dan wajib 
dipenuhi  oleh konsumen. Hal  
diperlukan  untuk memenuhi   kebutuhan yang  sifatnya praktis  dan kolektif. 
                Saat  seperti ini, keduduksn  konsumen 
sangat lemah  , sehingga  menerima 
saja  aturan dan
syarat-syarat  yang disodorkn oleh   oleh 
pihak  pengusaha, karena  jika 
tidak  demikian  tidak 
akan memperoleh   barang dan/atau
jasa  dari pengusahanya. Ini  menunjukkan 
kletidak seimbangan   antara   pengusaha 
dan konsumen  didalam  membuat 
perjanjian. Padahal  menurut   Pasal 1338 KUH Perdata, setiap  orang 
diberi kebebasan   untuk
membuat  perjanjian  dengan siapapun juga. Asas tersebut  tidak  dapat 
dilaksanakan sepenuhnya 
dengan  adanya  perjanjian   
klausula  baku.
Asasa kebebasan berkontrak ini tidak lagi tampil dalam bentuk seutuhnya. Di negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law, banyak dilakukan intervensi terhadap asas kebebsan berkontrak, baik melalui perundang-undangan maupun putusan-putusan hakim. Kecenderungan untuk melakukan intervensi dan retriksi makin lama makin menguat. Sedangkan negara yang menganut sistem Civil Law, perundang – undangan di bidang consumer“s protection justru tidak begitu banyak jumlahnya.
                Saat ini dengan   lahirnya 
UU No. 8 Tahun 1999, pencantuman  
klausula  baku  dalam 
dokumen   atau perjanjian   dibatasi 
guna   menempatkan  kedudukan konsumen setara   dengan 
pelaku usaha  berdasarkan
prinsip   kebebasan  berkontrak. Pasal 18 UU  No. 8 Tahun 1999 tersebut   menyatakan bahwa  pelaku usaha 
dalam menawarkan barang 
dan/atau  jasa  yang  
yang ditujukan untuk diperdagangkan 
dilarang  membuat 
atau mencantumkan  klasula  baku 
pada  setiap  dokumen dan/atau  perjanjian apabila :
a.      
Letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
b.     
Menyatakan pengalihan tanggung
jawab pelaku usaha.
c.      
Menyatakan bahwa pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
d.     
Menyatakan bahwa pelaku usaha
berhak menolak pembayaran kembali uang yang dibayarkan atas barang dan atau
jasa yang dibeli oleh konsumen.
e.     
Menyatakan pemberian kuasa dari
konsumen kepada pelaku usaha secara langsung atau tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan hukum sepihak yang berkaitan dengan barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran.
f.       
Mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen.
g.      
Memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
h.     
Menyatakan
tunduknya konsumen terhadap aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha.
i.        
Menyatakan
bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk membebankan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
Sebagai   
konsekuensinya  setiap  klausula   
baku   yang telah   ditetapkan  
oleh  pelaku uszaha pad  dokumen 
atau perjanjian   yang  memenuhi  
ketentuan   sebagaimana  dimaksud  
di atas  dinyatakan   batal  demi hukum. Oleh karena  itu 
pelaku usaha  diwajibkan   untuk  
menyesuaikan klausula   baku   yang 
dibuatnya   yang bertentangan
dengan undang-undang. 
Dengan demikian sejak adanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, maka tidak boleh ada lagi klausula baku dalam perjanjian yang merugikan konsumen. Bagi para hakim sudah selayaknya membatalkan pernjanjian yang memuat klausula baku yang merugikan konsumennnya, konsumen terpaksa menyetujui klausula perjanjian yang telah ditetapkan sepihak oleh pengusaa. Saat itu konsumen dalam kedudukan posisi yang lemah dibandingkan dengan pengusaha.
C. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA
Terdapat 4  ( empat )  hak dasar
konsumen yang sudah berlaku secara universal, yaitu sebagai berikut:
1.      
Hak
atas keamanan dan kesehatan.
2.      
Hak atas informasi yang jujur.
3.      
Hak pilih.
4. Hak untuk didengar.
Selain dari 4 (empat) hak dasar seperti tersebut di atas, dalam
literatur hukum terkadang keempat hak dasar tersebut digandeng dngan hak untuk
mendapat lingkungan hidup yang bersih sehingga kelima-limanya disebut dengan
“Panca Hak Konsumen”.
Di samping itu, perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen
selain 4 (empat) hak dasar sepertu tersebut di atas, menambahkan beberapa hak
lagi bagi konsumen yang disebut sebagai “Hak Tambahan” bagi konsumen, yaitu
sebagai berikut:
1.      
Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa konsumen.
2.      
Hak
untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
3.      
Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur dan tidak diskriminatif.
4.      
Hak
untuk mendapatkan kompensasi yang layak atas pelanggaran haknya.
5. Hak-hak yang diatur dalam berbagai perundang-undangan lainnya.
Sedangkan kewajiban konsumen menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku adalah sebagai berikut:
1.      
Membaca
atau mengikuti petunjuk, informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
2.      
Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa.
3.      
Membayar sesuai dengan nilai
tukar yang telah disepakati.
4. mengikuti upaya penyelesaian hukum tentang sengketa konsumen secara patut.
Kemudian, yang menjadi hak pelaku usaha adalah sebagai berikut:
1.      
Menerima pembayaran sesuai
kesepakatan.
2.      
Menadpatkan
perlindungan hukum dari perlakukan konsumen yang tidak beritikad baik.
3.      
Melakukan
pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian sengketa konsumen.
4.      
Merehabilitasi
nama baik apabila ternyata dalam penyelesaian sengketa dengan konsumen,
ternyata kerugian konsumen bukan disebabkan oleh barang dari pelaku usaha
tersebut.
5. Hak-hak lain yang diatur dalam berbagai perundang-undangan.
Sedangkan yang menjadi kewajiban sekaligus yang tanggung  jawab 
pelaku usaha  adalah :
1.      
Beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2.      
Memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur tentang kondisi dan penggunaan barang dan
jasa.
3.      
Memberlakukan
dan melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif.
4.      
Menjamin
mutu barang/jasa sesuai standar mutu yang berlaku.
5.      
Memberi
kesempatan yang masuk akal kepada konsumen untuk menguji atau mencoba
barang/jasa tertentu, serta memberikan garansi atas barang yang diperdagangkan.
6.      
Memberikan
ganti rugi manakala terjadi kerugian bagi konsumen dalam hubungan dengan
penggunaan barang/jasa.
7.      
Memberikan
ganti rugi manakala terjadi kerugian bagi konsumen jika ternyata barang/jasa
tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
8.      
Menyediakan
suku cadang dan atau fasilitas purna jual oleh produsen minimal untuk jangka
waktu 1 (satu) tahun.
9.      
Memberikan
jaminan atau garansi atas barang yang diproduksikannya.
Dengan 
demikian setiap   pelaku  usaha   
harus bertanggung  jawab   atas  
produk yang  dihasilkannya  atau diperdagangkannya.  Tanggung jawab  pelaku usaha 
dinamakan   tanggung  gugat 
produk  ( “ products (s) liability”’, “product (en) aansprakelijkheid“,  atau  “produduzenten-haftung“ . Tanggung   gugat 
produk ini  timbul dikarenakan   kerugian  
yang dialami  konsumen  sebagai akibat  dari “produk yang cacat“,  bisa 
disebabkan karena kekurangcermatan dalam memproduksi, tidak sesuai
dengan yang  diperjanjikan /jaminan, atau  kesalahan pelaku  usaha. Tanggung  jawab produk 
bisa  dikenakan pada  kepada 
pelaku usaha yang  ingkar  janji 
atau melakukan   perbuatan melawan
hukum.
        Pasal  19 UU 
No. 8 Tahun 1999  mengatur  tanggung  
jawab kesalahan  pelaku usaha  terhadap  
produk  yang dihasilkan  atau diperdagangkan. Menurut pasal tersebut,
pelaku  usaha   bertanggung jawab memberikan   ganturugu atas :
* kerusakan;.
* pencemaran;
* kerusakan dan kerugian konsumen;
* pencemaran dan kerugian konsumen;
* kerugian konsumen;
akibat mengkonsumsi barang dan.atau jasa yang dihasilkannya atau diperdagangkan.
Bentuk  ganti rugi 
dapat  berupa :
·    
pengembalian
uang
·    
penggnatian
barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara lainnya.
· Perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanga yang berlaku
Tanggung jawab pelaku usaha  dalam meberikan ganti rugi  di atas, tidak  berlaku 
apabila  pelaku usaha  dapat 
membuktikan  bahwa  kesalahan tersebut   merupakan  
kesalahan konsumen. Ini berarti 
bahwa  pembuktian  terhadap  
ada atau  tidaknya   untur kesalahan  dalam  
gugatan ganti  rugi  merupakan beban   dan tanggung 
jawab  pelaku usaha.
Peradilan pidana  
kasus konsumen   menganut   sistem 
beban   pembuktian terbalik. Pasal
22 UU  No. 8 Tahun 1999  menentukan bahwa  pembuktian terhadap  ada 
atau  tidaknya    unsur 
kesalahan  dalam kasus pidana
sebagimana  dimaksud  dalam pasal 
19 ayat (4). Pasal 20  dan Pasal
21  merupakan   beban dan tanggung jawab  pelaku uasaha 
tanpa  menutup kemungkinan  bagi jaksa 
untuk melakukan   pembuktian.
Jika  
pelaku usaha  menolak dan/atau
tidak  memberi  tanggapan 
dan/atau  tidak memeuhi ganti  rugi atas 
tuntutan konsumen, maka   menurut   Pasal 
23 UU No. 8 Tahun 1999  dapat  digugat  
melalui   Badan Penyelesaian
Sengketa  Konsumen  atau 
mengajukan   ke badan  peradilan 
di tempat   kedudukan konsumen.
                     
D. PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Untuk melindungi pihak konsumen
dari ketidakadilan, perundang-undangan memberikan larangan-larangan tertentu
kepada pelaku usaha dalam hubungan dengan kegiatannya sebagi pelaku usaha. Larangan-larangan
tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.      
Larangan
yang berhubungan dengan barang dan atau jasa yang        diperdagangkan.
2.      
Larangan
yang berhubungan dengan promosi/iklan yang menyesatkan.
3.      
Larangan
dalam hubungan dengan penjualan barang secara obral atau lelang yang
menyesatkan.
4.      
Larangan
yang berhubungan dengan waktu dan jumlah yang tidak
diinginkan.
5.      
Larangan terhadap tawaran
dengan iming-iming hadiah.
6.      
Larangan terhadap tawaran
dengan paksaan.
7.      
Larangan terhadap tawaran dalam
hubungan dengan pembelian melalui pesanan.
8.      
Larangan
yang berhubungan dengan pelaku usaha periklanan.
9. Larangan yang berhubungan dengan klausula baku.
Berikut ini penjelasannya bagi masing-masing kategori tersebut, yaitu sebagai berikut:
1) Larangan yang berhubungan dengan barang dan atau jasa yang diperdagangkan.
Oleh
perundang-undangan yang berlaku, kepada produsen atau pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan atau jasa dan wajib menarik
dari peredaran barang:
b.      Yang tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan.
c.      
Yang tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih (netto)
dan jumlah dalam hitungan seperti tercantum dalam label.
d.      Yang tidak sesuai dengan ukuran, takaran dan
timbangan.
e.      
Yang tidak sesuai dengan kondisi, jaminan,
keistimewaan atau kemanjuran seperti tertera dalam label.
f.      
Yang tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi,
proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana tertera
dalam label.
g.     
Yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam
label, etiket atau iklan atau promosi penjualan.
h.      Yang tidak mencantumkan kadaluwarsa atas
barang tertentu.
i.       
Yang
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal jika dalam label dicantumkan
kata “halal”.
j.       
Yang
tidak memasang label atau memuat penjelasan tentang barang tersebut.
k.      Yang tidak mencatumkan informasi dan atau
petunjuk penggunaan barang  dalam bahasa
Indonesia.
l.       
Yang
memperdagangkan barang yang rusak, cacat, tercemar atau barang bekas tanpa
pemberian informasi yang lengkap.
m. Yang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusah, cacat, tercemar atau bekas tanpa pemberian informasi yang lengkap.
2) Larangan yang berhubungan dengan promosi/iklan yang menyesatkan
Dalam
hal ini, pelaku usaha oleh perundang-undangan dilarang untuk menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan, atau membuat pernyataan yang tidak benar atau
menyesatkan mengenai:
a.      
Harga atau tarif suatu barang
atau jasa.
b.     
Kegunaan
suatu barnag atau jasa.
c.      
Kondisi,
tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang atau jasa.
d.     
Tawaran potongan harga atau
hadiah menarik yang ditawarkan.
e. Bahaya penggunaan suatu barang atau jasa
Selain itu, pelaku usaha juga dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar,
dan/atau seolah-olah:
- Barang tersebut telah memenuhi
     potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode
     tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
- Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru.
- Barang dan atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau
     memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu,
     ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu.
- Barang dan atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang
     mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi.
- Barang dan atau jasa tersebut tersedia.
- Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
- Barang tersebut merupakan kelengkapan
     dari barang tertentu.
- Barang tersebut berasal dari daerah tertentu.
- Secara langsung atau tidak langsung
     merendahkan barang dan atau jasa lain.
- Menggunakan kata-kata yang
     berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau
     efek sampingan tanpa keterangan lengkap.
- Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
3) Larangan dalam hubungan dengan penjualan barang secara obral atau lelang yang menyesatkan
Dalam hubungan dengan penjualan
barang secara obral atau lelang, pelaku usaha dilarang menyesatkan konsumen
dengan jalan sebagai berikut :
a.      
Menyatakan barang dan atau jasa
tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tersebut.
b.     
Menyatakan barang dan atau jasa
tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat yang tersembunyi.
c.      
Tidak berniat untuk menjal
barang yang ditawarkan, untuk menjual barang yang lain.
d.     
Tidak menyediakan barang dalam
jumlah tertentu dan atau jumlah yang cukup dengan maksud untuk menjual barang
yang lain.
e.     
Tidak menyediakan jasa dalam
kapasitas tertentu dan atau jumlah yang cukup dengan maksud untuk menjual jasa
yang lain.
f. Menaikkan harga atau tarif barang dan atau jasa sebelum melakukan obral.
4) Larangan yang berhubungan dengan waktu dan jumlah yang tidak diinginkan
Pelaku usaha
dilarang untuk menawarkan, mempromosikanm atau mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu,
manakala pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai
dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
5) Larangan terhadap tawaran dengan iming-iming hadiah
Pelaku usaha dilarang untuk menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian suatu hadian berupa barang atau dan atau jasa secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya, atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikan.
Juga, pelaku usaha dilarang untuk menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan atau jasa lain.
Di samping itu, pelaku usaha dilarang menawarkan barang
dan atau jasa dengan memberikan hadiah melalui undian, jika:
a.      
Tidak melakukan penarikan
hadiah setelah batas waktu yang diperjanjikan.
b.     
Mengumumkan hasilnya tidak
melalui media massa.
c.      
Memberikan hadiah yang tidak
sesuai dengan yang diperjanjikan.
d. Menggantikan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang diperjanjikan.
6)     
Larangan terhadap
tawaran dengan paksaan
Dalam menawarkan barang dan atau jasa, pelaku usaha dilarang untuk melakukannya dengan acra pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan, baik fisik maupun psikis dari konsumen.
7) Larangan terhadap tawaran dalam hubungan dengan pembelian melalui pesanan
Dalam hubungan dengan pembelian
barang melalui pesanan, dilarang:
1)      Untuk tidak menepati pesanan dan
atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan.
2) Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan atau prestasi.
8)     
Larangan yang berhubungan dengan pelaku usaha periklanan
1)     
Mengelabui konsumen mengenai
kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan atau jasa, tarif jasa
serta ketepatan waktu penerimaan barang dan atau jasa.
2)     
Mengelabui
jaminan atau garansi terhadap barang dan atau jasa.
3)     
Memuat
informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan atau jasa.
4)     
Tidak
memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan atau jasa.
5)     
Mengeksploitasi
kejadian dan atau seseorang tanpa izin yang berwenang atau persetujuan yang
bersangkutan.
6)     
Melanggar
etika dan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
E. PENEGAKAN HUKUM KONSUMEN
a. Konsekuensi Yuridis terhadap Pelanggaran Perundang-Undangan tentang Perlindungan Konsumen
Pelaku usaha yang melanggar
ketentuan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen berakibatkan
terhadap konsekuensi-konsekuensi hukum sebagai berikut:
 i.       
Kewajiban
pelaku usaha/importir/penjual untuk menghentikan kegiatannya atau menarik
barangnya dari peredaran, dan atau
 ii.     
Memberikan
ganti rugi kepada konsumen dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah transaksi dengan
beban pembuktian di pihak pelaku usaha/importir/penjual, dan/atau
iii. Tuntutan pidana kepada pelaku usaha/importir/penjual, dengan beban pembuktian pada pelaku usaha/importir/penjual tersebut.
b. Badan Perlindungan Konsumen Nasional
Untuk mengembangkan upaya perlindungan konsumen, dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang berkedudukan di ibukota negara, dengan anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usulan menteri setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Bila perlu, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan di daerah tingkat propinsi.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai
tugas-tugas sebagai berikut:
  
i.     
Memberikan
saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka menyusun kebijaksanaan di
bidang perlindungan nasional.
 ii.     
Melakukan penelitian dan
pengkajian terhadap perundang-undangan.
  
iii.   Melakukan penelitian terhadap barang dan
atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen.
  
iv.   Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat.
 v.     
Memasyarakatkan prinsip
perlindungan konsumen.
  
vi.   Menerima pengaduan tentang perlindungan
konsumen.
 vii.  
Melakukan
survai yang menyangkut dengan kebutuhan konsumen.
viii. Bekerja sama dengan organisasi konsumen intenasional.
c. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang
memenuhi syarat, diakui oleh pemerintah. Lembaga ini mempunyai tugas-tugas
sebagai berikut:
     
i.   Menyebarluaskan
informasi untuk meningkatkan kesadaran tentang perlindungan konsumen.
   
ii.   Memberi
nasihat kepada konsumen yang memerlukannya.
  iii.   Bekerja
sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen.
  iv.   Membantu
konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan
dari konsumen.
v. Melakukan pengawasan bersama dengan pemerintah dan masyarakat terhadap jalannya perlindungan konsumen ini.
d. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan di dalam pengadilan
(peradilan umum) maupun di luar pengadilan, berdasarkan  pilihan 
sukarela   para   pihak 
yang bersengketa. Jadi para  pihak
dapat  memilih  secara  
sukarela  penyelesaian  sengketa 
konsumennnya,  bisa  melalui pengadilan atau    di luar 
pengadilan. Menurut    45  ayat (2) 
UU  No. 8 Tahun 1999   menyatakan bahwa :
“ Penyelesaian sengketa konsumen tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa yaitu tanpa melalui pengadilan atau Badan pneyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini .“
Dengan demikian,  penyelesaian
sengketa  konsumen   dapat dikukan   melalui cara-cara  sebagai 
berikut :
·    
Penyelesaian damai  oleh para  
pihak  yang bersengketa ( pelaku
usaha dan konsumen ) tganpa    melibatkan
pengadilan  atau pihak ketiga  yang 
netral.
·    
Penyelesaian sengketa  melalui 
pengadilan.
· Penyelesaian di luar pengadilan melalui badan pneyelesaian Snegketa Konsumen.
Gugatan yang disengketakan dapat dilakukan oleh seorang konsumen
yang dirugikan atau gugatan kelompok (class action), yang dilakukan
oleh:
·        
Sekelompok konsumen yang
mempunyai kepentingan yang sama.
·        
Lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
·        
Pemerintah
atau instansi terkait apabila menyangkut dengan kerugian yang besar atau
menyangkut korban yang banyak.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat ditempuh oleh badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang dibentuk oleh pemerintah di Daerah Tingkat II. Putusan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan, dan dapat dimintakan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di wilayah tempat konsumen yang bersangkutan.
Tugas dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
adalah sebagai berikut:
     
i.   Menangani penyelesaian sengketa konsumen
dengan cara mediasi, konsolidasi dan arbitrase.
    
ii.   Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.
  
iii.   Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.
  
iv.   Melaporkan kepada penyidik umum apabila
terjadi pelanggaran ketentuan perundang-undangan di bidang perlindungan
konsumen.
   
v.   Menerima pengaduan konsumen.
  
vi.   Melakukan penelitian dan pemeriksaan atas
sengketa perlindungan konsumen.
 vii.  
Memanggil
pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran.
viii.   Memanggil dan menghadirkan saksi-saksi.
  
ix.   Meminta bantuan penyidik untuk
menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau pihak-pihak lainnya.
   
x.   Mendapatkan, meneliti dan menilai alat
bukti dokumen atau alat bukti lain.
  
xi.   Menetapkan ada atau tidaknya kerugian
konsumen.
 xii.  
Memberikan
pemberitahuan putusan kepada pelaku usaha yang bersangkutan.
xiii. Menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku usaha, berupa ganti rugi maksimum Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
e. Penerapan Sanksi-Sanksi
Sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan kepada konsumen adalah sebagai berikut :
i. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dapat dijatuhakn oleh pengadilan (umum) setelah melalui proses pidana biasa, yaitu lewat proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Proses penyidikan dilakukan oleh Polisi Negara atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah. Sedangkan yang melakukan proses penuntutan adalah badan penuntut umum (jaksa). Dan, proses pengadilan dilakukan oleh badan peradilan umum yang berwenang.
Sanksi pidana
berupa pidana pokok, yaitu:
1.      
Penjara maksimum 5 (lima) tahun
atau denda Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) untuk perbuatan tertentu,
atau
2.      
Penjara maksimum 2 (dua) tahun
atau denda Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk perbuatan
tertentu, atau
3. Pidana penjara umum atau denda umum yang belaku.
Di samping itu, terdapat juga pidana tambahan berupa:
1.      
Perampasan barang tertentu.
2.      
Pengumuman putusan hakim.
3.      
Pembayaran ganti rugi.
4.      
Penghentian kegiatan tertentu.
5.      
Kewajiban
penarikan barang dari peredaran.
6. Pencabutan izin usaha.
ii. Sanksi Perdata
Sanksi perdata kepada pihak pelaku usaha yang telah merugikan konsumen mungkin diberikan dalam bentuk kompensasi atau ganti rugi perdata, yang dijatuhkan oleh Pengadilan Perdata yang berwenang.
iii. Sanksi Administrasi
Selain itu, tersedia juga sanksi administrasi
bagi pelaku usaha yang melanggar perundang-undangan yang
berlaku, berupa:
1.      
Sanksi administrasi berupa
ganti rugi dapat dijatuhkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau
pengadilan umum.
2. Sanksi administrasi lainnya yang dijatuhkan oleh pengadilan atau pejabat pemerintah yang berwenang.
f. Pembinaan dan Pengawasan Perlindungan Konsumen
                Pasal 29  UU No. 8 Tahun 1999 Tentang  Perlindungan Konsumen   menegaskan bahwa   pemerintah 
bertanggung jawab  atas  pembinaan 
penyelenggaraan  perlindungan
konsumen  yang   menjamin diperolehnya  hak konsumen 
dan pelaku usaha   serta  dilaksanakannya  kewajiban 
konsumen  dan pelaku  usaha.
                Sesuai dengan  Pasal 17 UU 
No. 8 Tahun  1999 Tentang
perlindungan Konsumen ,  bahwa
pembinaan   oleh pemerintah  atas penyelenggaraan  perlindungan 
konsumen  tersebut
dilimpahkan  dan dilaksanakan oleh
menteri  yang ruang lingkup  tugas 
dan tanggung  jawabnya  meliputi 
bidang perdagngan  dan/ atau  menteri 
yang bertanggung  jawab
secara  teknis  menurut 
bidang tugasnya. Menteri inilah yang 
melakukan koordinasi  atas  penyelenggraaan-pengelenggaraan perlindungan
konsumen.
                Pembinaan  penyelenggaraan    perlindungan konsumen meliputi upaya  untuk :
a. Terciptanya   iklim usaha  
dan tumbuhnya  hubungan  yang 
sehat  antara   pelaku usaha   dan konsumen.
b. Berkembangnya   lembaga perlindungan konsumen  swadaya 
masyarakat
c. meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
Sedangkan  menurut 
Pasal 30 UU No. 8 Tahun 1999, pengawasan   terhadap  
penyelenggaraan  
perlindungan   konsumen  diatur 
serta  penerapan  ketentuan peraturan perundang-undangan  diselnggarakan oleh :
a. pemerintah, dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait.
b. masyarakat,
dan
c.
lembaga  perlindungan konsumen masyarakat, dilakukan  terhadap barang dan/atau jasa  yang beredar 
di pasar  dengan cara  penelitian, pengujian, dan/survei. 
Apabila  hasil pengawasan oleh masyarakat  dan lembaga 
perlindungan   konsumen  swadaya 
masyarakat, ternyata  
menyimpang  dari peraturan
perundang-undangan   yang berlaku  dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau
menteri  teknis  mengambil  
tindakan   sesuai   dengan  
peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Hasil
pengawasan  yang diselenggarakan
masyarakat dan lembaga  perlindungan
konsumen  swadaya  masyarakat 
dapat  disebarluaskan  kepada 
masyarakat  dan dapat  disampaikan 
kepada  menteri dan menteri
teknis. Ini berarti hasil pengawasan 
masyarakat dan lembaga perlindungan onsumen  swadaya 
masyarakt tidak bersifat  rahasia,
sebab  dapat disebarluaskan. Peraturan
pemerintah  akan  mengatur 
lebih lanjut  ketentuan
pelaksanaan  tugas  pengawasan terhadap  penyelenggaraan  perlindungan konsumen. 
  Dewan   Kementrian Eropa   merumuskan 
“ Directive on Products Liability“ 
mengamanatkan   sebagai
legislatif  nasional anggota-anggota  negara 
Eropa untuk dalam waktu  tiga  tahun mengimplementasikannya kedalam  legislatif 
nasionalnya.  Yunani,   Inggris, 
Denmark, Jerman , dan Belanda.
 Setiawan,   Produsen 
atau Konsumen : Siapa 
Dilindungi  Hukum?, dalam  Adrianus 
Meliala (  penyunting ).
Praktik  Bisnis Curang. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1993, hlm 152-153,
ibid., hlm 155. 
Presiden J.F Kennedy dalam Mariam Darus Badrul Zaman, 1986, hlm. 61.
Credit Files : Nijar Kurnia Romdoni
Download File klik LINK INI (password: konsumen.farihinmuhamad.blogspot.com)

Post a Comment